Ketum PPHI : Ada Aroma Ketidakjujuran Dalam Putusan MK

PN.JAKARTA l — Ketua Umum PPHI (Perhimpunan Praktisi Hukum Indonesia) DR. Tengku Murphi Nusmir, SH, MH turut berkomentar atas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak seluruh gugatan yang diajukan Prabowo-Sandi, ketika diwawancarai Wartawan di kediaman dibilangan Jakarta Selatan, Sabtu (29/06/19).

Menurut Murphi dalam amar putusan yang dibacakan Ketua MK yang juga Ketua Majelis Hakim MK, sudah seharusnya rakyat menerima putusan MK tersebut, sebagai bentuk taat hukum. Keikutsertaan masyarakat dalam penegakan hukum adalah hak konstitusional warga negara.

“Namun kami melihat penegakan hukum masih terkendala berbagai persoalan kepentingan sehingga terjadi disfungsi. Mari kita hadirkan keadilan di tengah masyarakat,” ajaknya mengutip ungkapan Lucius Calpurnius Piso Caesoninus (43 SM).

Murphi didampingi Waketum PPHI, Edi Wira Hadi.

Murphi yang saat wawancara dudampingi Waketum PPHI – Edi Wira Hadi menjelaskan, persoalan pilpres 2019 yang telah diputuskan MK secara pribadi ia tidak menyoroti tentang subjektifitas dari kuasa hukum 01 atau 02.

“Saya hanya mengamati tentang pertimbangan hukum berdasarkan saksi fakta di pengadilan dan saksi fakta yang di luar pengadilan. Ada beberapa bukti yang sedang berkembang di masyarakat, memasuki era digital dari pihak 02 sebagai pemohon memberikan beberapa bukti yang disampaikan dalam bentuk video, hal ini telah disiarkan di media tv, bentuk-bentuk kecurangan, namun bukti yang disampaikan ini kurang mendapat respon dari majelis hakim.  Padahal berdasarkan UU ITE video dapat dijadikan alat bukti,” jelas Murphi, panjang lebar.

Melihat kenyataan seperti itu Murphi merasa ada rona ketidakjujuran dan ketidakadilan dalam proses pengadilan di MK. Karena menurutnya banyak fakta dan dalil hukum yang terkesan tidak didalami. Walaupun demikian, Murphi mengungkapkan, hakim MK juga terikat amanat konstitusi dan nilai moral, maka rakyat berhak menilai apakah mereka telah mengemban amanat dengan benar. Yakni menegakkan kejujuran, keadilan, dan kebenaran.

“Persoalannya sekarang Bawaslu eksistensinya diatur oleh peraturan undang-undang KPU, bukannya UU, seumpama saja Bawaslu di atur oleh UU, maka akan beda nuansanya dan otoritasnya,” kata Murphi mengakhiri.*** (PG)

Murphi saat wawancara.

 

Loading

Catatan Redaksi: Apabila ada pihak yang merasa dirugikan atau keberatan dengan penayangan artikel dan/atau berita tersebut di atas, Silakan mengirimkan sanggahan dan/atau koreksi kepada Kami, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers melalui email: pajajaranred@gmail.com Terima kasih.