Harta Tidak Dibawa Mati? Masak Sih?

Oleh: H. J. FAISAL*

PN.  I — Di dalam Islam, manusia tidak hanya dipandang berdasarkan fisik dan kebutuhannya semata. Islam memandang manusia sebagai sebuah kesatuan antara keberadaan unsur fisik dan metafisiknya. Adapun unsur metafisik manusia menurut Imam Ghazali adalah ruh, jiwa akal, hati, dan fitrah.

Itulah mengapa selalu terjadi pertentangan prinsip kehidupan manusia antara barat dan Islam, dimana pengetahuan barat tentang manusia hanya dipandang dari unsur fisiknya manusia saja, tanpa memandang apa kewajiban dan hak jiwa manusia itu sendiri yang sesungguhnya.

Begitupun dengan harta dan benda kepemilikan manusia. Islam memandang harta sebagai sebuah rezeki yang Allah Subhannahu wata’alla telah titipkan kepada manusia di dunia ini.

Dzohirnya rezeki tersebut dapat berupa wujud fisik dari harta itu sendiri, baik yang hidup, seperti hewan ternak, tumbuhan, anak dan istri, maupun harta yang tidak bergerak atau tidak bernyawa, seperti perhiasan dan benda-benda lainnya.

Seperti halnya cara memandang manusia dalam hal fisik dan jiwa (baca: metafisik) manusia, Islam juga memandang harta tidak hanya dari segi fisikalnya semata, tetapi Islam memandang harta dari unsur nilai yang terkandung di dalam harta. Adapun nilai yang dimaksud disini tentu bukanlah nilai intrinsik atau harga yang terkandung di dalam harta tersebut, tetapi nilai yang dimaksud disini adalah nilai-nilai ibadah yang bisa didapatkan dari harta yang kita miliki.

Banyak pendapat yang beredar di kalangan masyarakat awam, bahwa harta yang kita miliki di dunia ini tidak akan dibawa mati. Jadi untuk apa mati-matian, bahkan mungkin sampai mati beneran dalam mencari mencari harta? Benarkah demikian? Tentu saja benar, jika yang kita lihat harta hanya sebagai bentuk fisik semata, seperti pandangan masyarakat awam tersebut pada umumnya.

Tetapi jika kita melihat harta yang kita miliki sebagai sarana untuk beribadah kepada Allah Subhannahu wata’alla, dengan cara mendapatkannya dan membelanjakannya di jalan Allah, maka sesungguhnya kita telah membawa mati harta yang kita miliki. Dan inilah cara pandang orang-orang yang berilmu dan yang beriman, yang wajib kita ikuti.

Menurut Syeikh Yusuf Qhardawi, di dalam bukunya Norma dan Etika Ekonomi Islam, (Penerjemah Zainal Arifin), mengatakan bahwa Islam menganggap kehidupan ekonomi yang baik sebagai suatu rangsangan bagi jiwa dan sarana untuk dapat berhubungan dengan Allah Subhannahu wata’alla. Dari sini terlihat bahwa Islam memang sangat memperhatikan masalah harta.

Masih menurut beliau, bahwa di dalam Islam, harta adalah sarana untuk memperoleh kebaikan, sedangkan segala sarana untuk memperoleh kebaikan adalah baik. Harta bukanlah selamanya bencana bagi pemiliknya dan bukan pula sarana untuk menjauhkan manusia dari Tuhannya. Begitupun sebaliknya, miskin bukanlah simbol manusia takwa sebagaimana pandangan para penganut sufisme. Harta dalam konteks Alqur’an adalah suatu kebaikan (khairun).

Islam tidak memandang harta dan kekayaan sebagai penghalang untuk mencari derajat yang lebih tinggi dalam bertaqarrub kepada Allah Subhannahu wata’alla (taqarrub illallah). Alquranul kharim di berbagi ayatnya menegaskan bahwa kekayaan dan kehidupan nyaman sebagian besar merupakn karunia Allah Subhannahu wata’alla bagi hamba-Nya yang beriman dan bertakwa sebagi balasan atas amal shaleh dan upaya mereka dalam mensyukuri nikmat Allah Subhannahu wata’alla. Sebagaimana kehidupan yang sempit, kemiskinan dan kelaparan sebagian besar merupakan hukuman takdir yang dipercepat Allah Subhannahu wata’alla bagi mereka yang berpaling dari jalan yang lurus.

Hal ini sesuai dengan firman Allah Subhannahu wata’alla, salahsatunya di dalam surat Ibrahim, ayat 7, yang artinya:
“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”.

Dari uraian yang singkat di atas, jelaslah bahwa harta benda yang kita miliki dari apa yang telah kita usahakan dan kita belanjakan, yang tentu saja dengan cara yang sesuai dengan tuntunan Al Qur’an dan Sunnah, merupakan sarana untuk mengekalkan harta kita sampai kepada kematian. Hadits Rasululllah berikut ini yang menjadi landasannya. Dari Abu Hurairah RA berkata: Rasulullah bersabda: “Apabila manusia itu meninggal dunia maka terputuslah segala amalnya kecuali tiga: yaitu sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak sholeh yang mendoakan kepadanya.” (HR Muslim).

Apalagi di bulan Ramadhan yang suci ini, adalah saat yang tepat untuk membawa mati harta kita.

Jadi, berapa banyak kita ingin membawa harta kita ke dalam kematian kita, yang mana harta tersebut justru bisa menyelamatkan kita di akhirat kelak? Terserah anda sepenuhnya.

Wallahu’alam bissowab

Jakarta, 4 Mei 2021/ 22 Ramadhan 1442 H

*Penulis adalah pemerhati pendidikan/ Mahasiswa Sekolah Pascasarjana UIKA, Bogor

Loading

Catatan Redaksi: Apabila ada pihak yang merasa dirugikan atau keberatan dengan penayangan artikel dan/atau berita tersebut di atas, Silakan mengirimkan sanggahan dan/atau koreksi kepada Kami, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers melalui email: pajajaranred@gmail.com Terima kasih.