PN.BOGOR l Sebagai seorang mu’min (sebutan orang yang beriman dalam agama Islam), kelahiran dan perjalanan hidupnya di dunia tak lain sebagai ‘ujian’ dan persiapan kembali kepada Allah SWT.
Namun tidak semudah itu menjalaninya. Dengan potensi akal dengan kehendak bebasnya, jiwa dengan perasaannya, dan tubuh dengan lakunya, selain manusia akan mampu menjadi dirinya sendiri, juga mampu melampaui kemuliaan malaikat, atau sebaliknya jauh lebih terkutuk daripada Iblis.
Dalam ruang estetis, kali ini R. Atang Supriatna mencoba memotret jejak tubuhnya sendiri yang terus bergulat sebagai manusia seperti yang disebutkan di atas; pergulatan hitam-putih, benar-salah, teknis-non teknis. Dua hal yang paradoks yang dimiliki oleh setiap manusia, dalam sebuah pementasan tari yang akan dilaksanakan di Gedung Kemuning Gading, 27 Maret 2019, Kota Bogor.
“Bahasa ungkap tubuh tradisi yang dipilih agar karya tidak berjarak dengan pelakunya dan dengan masyarakatnya sendiri. Tayub, Bedog, Silat, Petuah Orang Bijak, Teks Inspiratif, dan Bunyi Spiritual yang diracik dalam sebuah kerja koreografi tari ini pun akhirnya menjadi idiom yang hadir di atas panggung. Adegan yang dibuka dengan sayatan biola dan teks Al-Ghazali tentang pemahaman diri dan Tuhan, disusul permainan bedog dan koreografi tari (dengan tanpa mengabaikan teknik dan stuktur dramatik secara keseluruhan), sepertinya sudah sangat jelas menggambarkan kemana arah dan apa yang ingin dicapai dalam pentas ini, yakni tubuh jasmani bergulat untuk mencapai esensi laku sebagai tubuh ruhani di ruang-ruang Tuhan; kapanpun, di manapun dan dengan siapapun. Dalam arti lain adalah lahirnya Tubuh Ideologis,” ungkap R. Atang, kamis (21/3/19).
Lebih jauh Atang menjelaskan hal paling menarik dari pentas ini, dalam perseptif ‘dunia tari/gerak/tubuh’ konsep menghadirkan teks verbal yang diucapkan penari di beberapa adegan tentunya akan menjadi obrolan hangat di antara kita, sehangat kita berbincang fenomena multi media, multi culture dan multi dimensi di jaman milenial ini.
“Katarsis bukanlah karya yang menawarkan, tapi semangat berbagi pengalaman bahwa peperangan, pergulatan, saling menaklukan dan ditaklukan adalah sebuah keniscayaan hidup manusia. Maka jika kemenangan demi kemenangan sejati yang ingin diraih, tiada jalan lain selain dengan taat dan patuh kepada syariat -sebagai puncak makrifat- secara konsisten dan istiqomah,” kata Atang lagi.
Akhirnya, sebagai sebuah produk rasa, pentas ini semoga memantik kita untuk mengalami katarsis atau penyucian jiwa. Karena pentas sejatinya baru dimulai ketika layar ditutup. Dan dalam pementasan kali ini, Atang berkolabirasi dengan rekannya Ery Mefri.*** (Gara)