Betawi, Batavia, Jakarta dalam Puisi Chairil Gibran Ramadhan

PN. JAKARTA l — Dalam rangka menyambut HUT ke-498 DKI Jakarta, pada Jum’at, 20 Juni 2025, di Museum Kesejarahan Jakarta (dahulu Museum Fatahillah), Taman Fatahillah, Jakarta Kota, digelar diskusi publik dan peluncuran buku _“Wapen van Holland: Setangkle Puisi Sejarah dan Budaya ~ Betawi, Batavia, Jakarta”_ karya Chairil Gibran Ramadhan, sastrawan dan budayawan Betawi asal Kampung Pondok Pinang, Jakarta Selatan, yang juga penggemar sejarah dan (masih) wartawan.

Buku ini merupakan judul kelima dari 11 judul buku dalam seri _“Setangkle Puisi Sejarah dan Budaya ~ Betawi, Batavia, Jakarta”._ Sebelumnya terbit _“Passer Gambier”_ (2018), _“Gedong Bitjara”_ (2019), _“Koningin van Het Oosten“ (2019), dan “Mesigit”_ (2024). Keempatnya, bersama buku-buku lain karya CGR yang membahas Betawi, Batavia, Jakarta, sudah dikoleksi pihak Universitas Leiden, Belanda.

Acara yang secara khusus dihadiri Kepala KITLV-Leiden di Jakarta, Marrik Bellen, atas undangan langsung CGR ini, juga dihadiri kalangan budayawan, seniman, sastrawan, sejarawan, wartawan, akademisi, peneliti, sineas, tokoh media, dan tokoh nasional.
Uniknya, meski terkait Betawi-Jakarta dan perayaan ulang tahun DKI Jakarta, namun acara ini digelar tanpa dukungan dana dari Pemprov DKI Jakarta dan lembaga atau tokoh Betawi.

Penyelenggaraannya justru atas dukungan swadaya dari Pusat Studi Betawi UHAMKA, Forum Jurnalis Betawi, Sahabat Budaya Indonesia, Betawi Institute, Padasan Pictures, Penerbit Padasan, Museum Etnografi Orang Betawi, Stamboel: Journal of Betawi Socio-Cultural Studies, rekan-rekan penyair, rekan-rekan pers dalam Jaringan Sahabat Media, selain tentunya budi baik dari Esti Utami selaku Kepala UP Museum Kesejarahan Jakarta dalam hal penyediaan tempat secara cuma-cuma.

Acara dimeriahkan pembacaan puisi dari para penyair: A. Rizal (Sanggar Silat Cingkrik S3, Rawa Belong), Rr. Dyah kencono Puspito Dewi (Forum Penyair TIM), Guntoro Sulung (Sineas dan Seniman TIM Cikini), Remmy Novaris DM (Ketua Diskusi Meja Panjang, TIM Cikini), Sihar Ramses Simatupang (Penyair dan Wartawan), dan Yuki Sastradirja (Penggerak Komunitas Seniman Senen). Hadir pula penampilan khusus dari H. Zahruddin Al Batawi, yang dikenal sebagai Raja Pantun Betawi, dan sudah menghasilkan empat buku pantun Betawi.

Adapun yang menjadi pembicara adalah Chairil Gibran Ramadhan (Penulis dan Peneliti), Giyanto Subagio (Masyarakat Kesenian Jakarta), Idrus F. Shahab (Mantan Wartawan Majalah TEMPO), dan Nuthayla Anwar (Penyair dan Dosen IAI Al Ghuraaba). Acara dipandu M. Syakur Usman (Ketua Forum Jurnalis Betawi) sebagai moderator. Muhammad Sartono, guide senior, praktisi batik, Ketua Sahabat Budaya Indonesia, bertindak sebagai MC.

Sebelum diskusi publik digelar, hadir memberi sambutan: Esti Utami (Kepala UP Museum Kesejarahan Jakarta), Marrik Bellen (Kepala KITLV-Leiden di Jakarta), Embie C. Noer (Anggota Dewan Pendiri Balai Bahasa Betawi), Prof. Dr. H. Edi Sukardi (Guru Besar UHAMKA, Ketua Pusat Studi Betawi UHAMKA, dan Rektor UMBARA Bogor), dan ART Tanjung (Penggerak Betawi Insititute).

2
Mengenai _“Wapen van Holland”_ yang diberi Pendahuluan oleh Prof. Dr. Zulhasril Nasir (Guru Besar FISIP UI) dan Pengakhiran oleh Dr. Achmad Sunjayadi (Prodi Sastra Belanda FIB UI), Cecep Syamsul Hari, penyair dan mantan Redaktur &Majalah Sastra Horison,_ memberikan endorsement:

“CGR selama ini dikenal sebagai sastrawan sekaligus peneliti sejarah dan budaya Betawi dan menjadikannya sebagai tema sentral prosa dan esai. Kali ini ia mengambil bentuk ungkapan sastrawi lain: Puisi, yang disandarkan pada ekspresi skematik bahasa Indonesia dan dialek Betawi yang diberi nuansa kesilaman melalui ragam ejaan. Ini patut diapresiasi. Seorang sastrawan memang harus selalu berada dalam pusaran historisitas bangsanya dan historitas tema, sikap, dan nilai estetis yang dipilihnya. Di pusaran historisitas itu, ia diharapkan mampu menjadi konstitusi semesta yang dapat menarik dan menemukan persinggungan dari benang merah kesilaman, kekinian, dan keakanan. Hanya sastrawan yang memiliki keberanian menjadi konstitusi semesta dari suatu historitas yang mampu melakukan pembaruan. CGR sedang memasuki ranah konstitusi semesta itu.”

Sedangkan Ahmad Syubbanuddin Alwy, penyair dan Budayawan Cirebon, menulis: “Baru pada Temu Sastra Indonesia 2012 di Jakarta saya bertemu Encang CGR. Ia sastrawan nasional yang selain menulis cerpen sejarah dan budaya tentang Betawi, Batavia, dan Jakarta, juga menulis puisi dan esai dalam latar yang sama. Saya terhentak begitu mengetahui ada orang Betawi yang tekun dan punya dedikasi terhadap lokalitas sastra seperti dia. Rancangan buku puisinya juga menghentak saya karena sangat dalam, kuat, dan berisi. Atas buku garapannya, _Kembang Goyang: Orang Betawi Menulis Kampungnya ~ Sketsa, Puisi & Prosa ~ 1900-2000_ (Padasan, 2011), saya akan mencalonkan dia sebagai penerima Anugrah Budaya dari Pemprov Jawa Barat karena menurut Perda No. 5 Tahun 2003, ditulis bahwa orang Betawi, Cirebon dan Sunda diakui sebagai suku asli di wilayah Jawa Barat. Mengherankan bila karya-karya Encang CGR yang mengangkat kampung halaman dalam sastra tulis dan bergema di kancah nasional, tidak dilirik Pemprov DKI Jakarta. Apa sesungguhnya yang terjadi?”

Puisi-puisi di dalam seri _“Setangkle Puisi Sejarah dan Budaya ~ Betawi, Batavia, Jakarta”_ memang bukan puisi-puisi yang baru ditulis secara tiba-tiba. Seluruhnya diambil dari karya-karya yang ditulis CGR antara tahun 1996-2016. Endorsement dari Ahmad Syubbanuddin Alwy, menurut CGR, diperolehnya tahun 2013, dua tahun sebelum wafatnya sang penyair dan budayawan akibat kanker otak. Dan _“Wapen van Holland”_ sudah selesai dalam bentuk dummy sejak delapan tahun lalu.

Akhirnya, pencatatan yang dilakukan CGR dalam seri _“Setangkle Puisi Sejarah dan Budaya ~ Betawi, Batavia, Jakarta”,_ adalah sangat penting sebagai cara untuk mempelajari sejarah dan budaya yang terjadi di Tanah Betawi sejak masa Batavia hingga Jakarta. Melalui isinya, kita tidak hanya mendapat pelajaran sejarah namun juga pelajaran sastra. Dalam karya-karya puisi, seperti juga karya-karya cerpennya, CGR berbaik hati memberi catatan kaki sehingga pembaca tidak seperti orang buta. Genre Puisi Esai (puisi yang dilengkapi catatan kaki) yang kini ramai dibicarakan, sesungguhnya sudah jauh dihasilkan oleh CGR.

Mengenai kampung-kampung di Tanah Betawi, CGR juga sudah menyiapkan seri _“Setangkle Puisi Sejarah dan Budaya ~ Betawi, Batavia, Jakarta: Keliling Kampung Betawi”_ yang berjumlah 11 buku. Satu keunikan CGR, semua buku ditulisnya tanpa dukungan dana riset dari lembaga pemerintah, lembaga swasta, dan tokoh manapun terlebih tokoh Betawi. “Saya bergerak secara pribadi atas niat dan kemampuan sendiri.” ucap CGR.

Pengakuan CGR ini mendapat persetujuan dari Sihar Ramses Simatupang, penyair, wartawan, dan mantan redaktur sastra surat kabar harian _Sinar Harapan_: “Chairil Gibran Ramadhan itu pejuang sejati, pejuang sastra Betawi sejati.”

Hadir meliput acara yang juga dimeriahkan aksi silat beksi dari guru besar Perguruan Cingkrik S3 Rawa Belong ini adalah rekan-rekan media online dari getpost.id, jakartasatu.com, jernih.co, kabarbetawi.id, majalahjakarta.com, monitorpos.net, sinarharapan.net, dan sportanews.com, dan guru besar Cingkrik Rawa Belong: Abdul Manaf.*** (Betawi Institute).

Loading

Catatan Redaksi: Apabila ada pihak yang merasa dirugikan atau keberatan dengan penayangan artikel dan/atau berita tersebut di atas, Silakan mengirimkan sanggahan dan/atau koreksi kepada Kami, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers melalui email: pajajaranred@gmail.com Terima kasih.