PN.DEPOK l — Diskusi PILKADA DEPOK, di Sekretariat Barinas Koalisi Gemuk, Biaya Politik dan Ideologi Agama
Dukungan dari Koalisi Gemuk tidak menjamin kemenangan dalam Pilkada. Ada beberapa contoh koalisi Gemuk kalah. Seperti Pilpres 2014 antara Jokowi Jusuf Kala dan Prabowowo Hatta Rajasa. JKW – JK menang walaupun dukungan kursi diparlemen lebih rendah dibanding rivalnya.
Koalisi Gemuk memerlukan daya gerak dan akselerasi yang efektif dan efisien. Demikian kata Maryono, salah satu pendiri Barinas.
Ditambahkan, bagi calon yang dibranding ketokohannya dengan baik oleh timses dan menjanjikan, bila didukung koalisi gemuk yang efektif dan efisien kemungkinan besar menang.
Panca Setyo menyatakan dukungan massive Parpol di Parlemen terhadap calon merupakan bagian dari dinamika politik parlemen ketimbang dukungan real dari pemilih.
Maryono sependapat merujuk Pilkada Depok 2015 dan yang akan berlangsung 9 Desember 2020. Melihat di lapangan belum tampak hubungan linier antara dukungan anggota DPRD dengan pemilihnya, khususnya calon Pradi Afifah yang didukung koalisi gemuk 6 Partai di DPRD terdiri 33 Kursi dan 6 elemen/ormas pendukung.
Banyak program pendukung sangat bagus untuk didengarkan tetapi belum tampak dalam pelaksanaan padahal waktu efektif kampanye hanya 2 bulan. Dukungan mereka praktis syarat admistratif di KPUD, belum ada jaminan kemenangan, karena koalisi gemuk tidak akan efektif, sejauh jumlah itu tidak bergerak atau digerakan dengan efektif dan efisien, tegasnya.
Anwar, Ketua aliansi pendukung non parlemen Pradi Afifah, mengatakan wajar untuk menggerakan mesin organisasi diperlukan tenaga, pikiran dan dana. Timbul kekuatiran adanya kesalah pahaman diantara pengurus dan anggota, saat kita mendukung dikira dapat kucuran dana operasional dari calon, atau dari DPP Partai padahal tidak atau belum ada dana operasional itu.
Sutikno, ketua Kosgoro eks anggota dewan menyampaikan , anggota dewan yang mendukung calon, juga memerlukan dana operasional untuk menggerakan konstituennya, sebuah konsekuensi marketing dan cost politik, demikian katanya.
Ningworo, ketua umum Barinas mengakui, pengalaman mengikuti Pilkada, Pilleg, pikiran-pikiran pragmatis itu tidak dapat dihindarkan dalam kontestasi politik ditingkat pusat maupun daerah, apapun dilakukan untuk mengejar elektabilitas.
“Karenanya kekuatan financial yang dimiliki parpol dan calonnya menjadi penentu. Apabila ada mahar politik ke Partai, calon perlu juga memikirkan untuk operasional mesin partai dilapangan dan para relawan pendukungnya,” kata Ningworo.
Walaupun diakui Ningworo, ada juga relawan yang mampu membiayai diri sendiri untuk membantu calon yang didukung karena idealisme mereka.
Pilkada kota Depok, sebuah kota yang hiterogen seperti miniature Indonesia, bila salah satu kontestan menebar ideologi agama dalam kampanyenya, dapat membelah pemilih dalam 2 kutub.
“Kutub yang sepaham dengan ideologi agama partai dan kutub yang berpandangan bahwa agama itu sebagai panutan hidup bukan sebagai alat untuk mempeoleh kekuasaan. Kelompok ini sering disebut Nasionalis,” demikian pendapat Maryono.
Demikian pula, penganut agama lain akan berfikir berlawanan, karena kekuatiran ajaran agama dijadikan rujukan dalam kekuasaan dapat membatasi kehidupan umat beragama lainnya.
Pilkada Depok sebuah tantangan yang menarik, koalisi gemuk akan kehilangan muka bila kalah, dan kekalahan bisa meruntuhkan reputasi kedua belah pihak bahkan ditingkat nasional.*** (bng)