PN.JAKARTA l — Pada jumat 9 September 2022, bertempat di Gedung Pusat Dokumentasi Sastra HB. Jassin, Taman Ismail Marzuki (TIM), dua buku diluncurkan. Satu buku merupakan tulisan gabungan Gerson Poyk dan sang putri Fanny J. Poyk yang berjudul ‘Gerson Poyk, NTT, Bali dan Aku’. Buku ini merupakan buku mini biografi tentang perjalanan kehidupan sang sastrawan asal Rote, NTT dan keluarganya selama menetap di Bali, NTT/Sumbawa dan Jakarta. Satu buku lagi berupa antologi atau kumpulan cerpen hasil karya Fanny J. Poyk yang pernah dimuat di berbagai suratkabar dan majalah yang ada di Indonesia, seperti Kompas, Jawa Pos dan Majalah Horison.
Dua pembicara yang hadir membahas tentang dua buku tersebut adalah Prof. Abdul Hadi WM dosen filsafat dari Universitas Paramadina dan Kurnia Effendi, seorang penulis prosa terkenal lulusan ITB Bandung. Keduanya bertutur tentang dua buah buku yang diluncurkan itu dengan mengetengahkan kisah-kisah selama mereka mengenal almarhum Gerson Poyk dan kehidupannya serta gaya kepenulisannya dan cerpen-cerpen yang ditulis sang putri Fanny J. Poyk.
Secara lugas, Profesor Abdul Hadi, megilas balik kenangannya yang epik tentang tahun-tahun enam puluh hingga tujuh puluhan kala ia mengenal sosok seorang Gerson Poyk. Di matanya, Gerson adalah pribadi bohemian proletar, absurd yang mengarungi hidup sebagai seorang jurnalis yang mana pada tahun 65 hingga 70an pernah menjadi wartawan dan Redaktur Budaya di Koran Sinar Harapan.
“Gerson merupakan sosok yang sangat bersahaja dan senang melanglangbuana dengan bekal uang seadanya. Dia bisa bersahabat dengan siapa saja. Itu sebabnya kemana pun dia pergi, dia tak pernah susah untuk memperoleh tempat menginap, meski kesusahan itu sendiri selalu berada di dekatnya dia nikmati dengan tanpa beban. Gerson sosok seniman langka, dia tidak materialsm minded. Pernah seorang kaya raya asal Sumenep yang bernama Pak Azis (pemilik Surabaya Pos), memberinya uang sebesar lima belas juta. Kala itu pemberian sebesar itu sangatlah besar. Gerson yang tidur di sebuah masjid, tengah malam pergi ke daerah kumuh yang banyak pengemis di Surabaya. Tatkala mereka sedang tidur, Gerson memasukan uang ke tas-tas kumuh mereka. Uang pemberian Pak Azis dibagi-bagikannya untuk puluhan pengemis itu. Paginya mereka bangun dan terkejut melihat uang di tas usang mereka, mereka menganggap itu pemberian dari Tuhan. Uang sebesar lima belas juta rupiah hanya tersisa sedikit dan Gerson membawanya pulang untuk diberikan pada keluarganya. Peristiwa-peristiwa lainnya banyak lagi. Gerson tak pernah pusing apakah ia punya uang atau tidak, kadang ia lapar dan tak ada makanan sama sekali, tapi ia percaya rejeki itu pasti datang dari Tuhan,” tuturnya.
Prof. Abdul Hadi juga menuturkan bahwa sastrawan asal Pulau Rote, NTT itu adalah seniman sejati. Menurutnya, Gerson sosok yang jenius, ia paham sastra, filsafat dan agama, semua itu ia gabungkan ke dalam tulisan-tulisannya yang lebih banyak bertutur tentang kehidupan marginal, seperti pelacur, pengemis, dan orang-orang terpinggirkan lainnya.
Seorang peserta bernama Frans Balla yang juga interpreter/penerjemah bahasa Indonesia Inggris untuk acara-acara kepresiden asal NTT, menuliskan tentang sosok Gerson Poyk, “Bapak pernah berkata, ia memimpikan agar Indonesia dengan sumberdaya alamnya yang berlimpah akan menjadi piring raksasa yang isinya makanan dan dapat dinikmati semua orang. Kita harus bekerja dengan logos (pengetahuan), etos (etika) dan pathos (empati/teposaliro).”
Sedangkan tiga muridnya, Ismail Lutan (Ketua Jurnalis Islam Indonesia), Moctavianus Maheska, Helmi Haska yang bertahun-tahun mengikuti alm Gerson Poyk, mengungkapkan perasaan mereka tentang sosok Gerson Poyk yang mereka kenal.
“Suatu hari di daerah pelacuran, Pak Gerson menegur PSK bernama Tuti, bapak memberikan seluruh honornya pada perempuan itu. Ternyata, uang itu adalah honor dari Bapak menulis sebuah puisi yang berjudul Tuti Dongkrak. Uang itu hak dia, jadi saya harus menyerahkan padanya,” tutur Helmi Haska.
Moctavianus Maheska dan Helmi Haska menuturkan kalau mereka banyak menimbu ilmu tentang kehidupan dari Bapak. Mereka tidak diajari menulis secara teoritis, namun lebih kepada praktek langsung, usia mengamati kehidupan sekitar langsung menulis. Sebab bagi Pak Gerson memberi itu bukan dengan tujuan untuk menguasai segenap kehidupan manusia, namun memberi dengan hati yang ikhlas.*** (FJP)