OPINI  

Munajat 212, Sekali Lagi Islam Rahmatan Lil Alamin

Oleh: M. Nigara

KAMIS (21/2) sore hingga tengah malam, Monas, kembali jadi sorotan. Puluhan ribu dan mungkin bisa mencapai seratus ribuaan, jemaah kembali berkumpul. Bermunajat pada Allah SWT agar Indonesia diselamatkan. Agar Indonesia terbebas dari kedzaliman.

Seperti aksi atau kegiatan-kegiatan 212 yang diawali sejak 2016, tepatnya sejak Ahok menista surat Al-Maidah ayat 51, tidak ada kerusuhan dalam aksi itu. Bahkan ketika reuni akbar 212 tahun 2018, belasan juta umat yang terlibat (meski ada kubu yang ketakutan, lalu memberi pernyataan yang hadir tidak lebih dari 50 ribu, tentu kita tersenyum saja) tidak ada kerusuhan apa pun. Padahal, mereka menuding bahwa islam yang ada di 212 adalah kaum radikal. Islam yang akan mengubah Panca Sila menjadi khilafah. Islam yang dituding intoleran.

Faktanya, dari tiga kali aktivitas 212 yang kolosal itu (catatan, aksi 212 menjadi kegiatan berkumpulnya manusia di waktu yang sama dalam jumlah super fantastis, jutaan-belasan juta, merupakan kegiatan terbesar di dunia sepanjang sejarah), tidak menimbulkan apa pun. Tertib, bersih, dan damai.

Malah, bukan cuma umat islam saja yang hadir, umat-umat lain juga ikut menikmatinya. Bukan hanya suku Jawa yang mayoritas, _urang-urang_ Sunda, Batak, Maluku, Papua, Aceh, Kalimantan, Selawesi, bahkan saudara-saudara kita yang keturunan, juga menikmatinya. Sekedar mengingatkan, pernah ada rombongan pengantin yang terjebak kemacetan saat menuju gereja Kathedral yang letaknya berseberangan dengan Mesjid Istiqlal.

Kalau aksi 212 tahun 2016 itu radikal, intoleran, dan anti pancasila, anda bisa bayangkan nasib rombongan penganten itu. Sudah beragama katolik, maaf, rombongan pengantin juga WNI keturunan. Tapi, harapan orang-orang yang nyinyir itu tidak tercapai. Aktivis 212 justru mengawalnya, menjamin acara pernikahan berjalan dengan baik. Itu saja, tidak mereka hargai, tidak mereka lihat dan tidak mereka akui. Jadi, jelaskan siapa sesungguhnya yang jahat!

Ironisnya, tidak ada juga media _msin stream_ yang meliput. Padahal jika dikupas, kisah itu luar biasa dampaknya. Bukan hanya _human interest_ nya sangat tinggi, tapi toleransi dan ke-Indonesiaannya juga sangat luar biasa. Kalau media-media besar cetak atau elektronik meliputnya, maka rakyat yang tidak datang (karena tidak sempat, karena beda agama, atau karena takut lantaran sebelumnya disebutkan kelompok 212 adalah radikal) akan melihat betapa islam itu _rahmatan lil alamin_. Islam yang tergabung dalam 212 adalah kelompok yang sangat toleran dan sangat NKRI.

Jadi, akhirnya saya maklumi mereka tidak meliput lantaran tidak ingin ada stikma yang berubah pada kelompok 212. Ya, secara logika, jika 212 itu ternyata kelompok yang toleran, maka habis sudah jualan mereka.

*Terulang*

Kembali ke Monas, Kamis (21/2)

malam. Sekali lagi umat islam, sekali lagi 212, menggelar kegiatan. Tidak sebesar aksi-aksi sebelumnya, tapi tidak kurang dari 150 ribu umat datang. Tanpa woro-woro yang masif, tidak ada iklan, spanduk, atau apa pun juga, jumlah seperti itu sangat istimewa, apalagi hari kerja.

Dan yang tak kalah menariknya, para peserta juga sama seperti dulu, saling berbagi panganan, minuman, dan saling bantu transportasi. Kisah Kamis (21/2) mengingatkan saya pada aksi-aksi sebelumnya. Semua kebaikan kembali terulang.

“Kami datang dari Riau,” kata seorang bapak. “Sengaja, seperti terpanggil!” katanya lagi.

Bahkan ada emak-emak yang sudah sepuh. 82 tahun, sengaja datang dari Makassar.

Jadi, ketika ada politisi yang jidatnya hitam pekat, seolah-olah seperti orang yang menghabiskan waktunya untuk berdujud, berkata: “Di Monas tidak ada Tuhan.” Kita tertawa saja. Tuhan yang dimaksud pasti bukan Allah, karena Allah SWT ada di jantung dan hati kita orang yang beriman.

Munajat yang penuh hikmat itu adalah pengingat bagi kita bahwa hidup tidak kekal dan kekuasaan pasti ada batasnya. Pengingat bagi umat, hanya dengan bersana-sama kita bahagia. Ya, *munajat dan kebersamaan itu jadi yang pertama, sementara urusan pilihan presiden ya nomer dua* saja. Aamiin… *

(Penulis adalah wartawan senior dan mantan Wasekjen PWI).

 

Loading

Catatan Redaksi: Apabila ada pihak yang merasa dirugikan atau keberatan dengan penayangan artikel dan/atau berita tersebut di atas, Silakan mengirimkan sanggahan dan/atau koreksi kepada Kami, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers melalui email: pajajaranred@gmail.com Terima kasih.