Luka Peradaban Dalam Kumpulan Puisi Misigit Karya CGR

PN. JAKARTA l — Di Jakarta yang tak lagi menjadi Ibu Kota, bangunan masjid bukan hanya sekadar bangunan, tetapi telah menjadi representasi dari identitas masyarakat Betawi yang dilebur oleh kekuasaan kolonial.

Itulah yang ingin disampaikan oleh dalam acara bedah buku Mesigit: Setangkle Puisi Sejarah dan Budaya Betawi, Batavia, Jakartakarya Chairil Gibran Ramadhan (CGR)  di Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB. Jassin pada Rabu (11/12/2024).

Buku yang berisi sekumpulan puisi itu bukan sekadar puisi, tetapi juga ada catatan kaki seputar masjid (misigit) yang ada di Jakarta pada masanya. Ini menarik, karena pembaca seperti dibawa pada lintasan masa dimana ketika masjid itu masih berdiri kokoh.

Ada peristiwa dalam bait puisi CGR, bukan hanya sekadar penyusuan kata, tetapi dia menaruh kegelisan pada puisinya. Dan kegelisahan tersebut tertuang dalam catatan kaki, dimana reruntuhan mesjid untuk menyoroti luka kolonial yang terus berlanjut dalam ingatan masyarakat.

Teknik ini mengingatkan kita pada gaya Ezra Pound dalam The Cantos, di mana satu simbol sering kali memuat banyak lapisan makna. Pound menggunakan reruntuhan Roma untuk membicarakan keruntuhan peradaban modern.

Coba kita perhatikan kalimat berikut; “Loedes djadi aboe srenta bara.” Baris kalimat ini menjadi inti emosional CGR yang dituangkannya dalam puisi.

CGR ingin mengabarkan luka peradaban dimana masjid yang dulu berdiri megah kini menjadi abu dan bara, sisa-sisa kehancuran yang sulit untuk dihapus dari ingatan kolektif oleh seorang CGR. Ia memanfaatkan imagery destruksi ini untuk menciptakan suasana kehilangan yang mendalam.

Dalam puisi itu, abu dan bara tidak hanya simbol kehancuran fisik, tetapi juga jejak trauma yang terus membekas. CGR berhasil membuat kehancuran ini terasa personal, seolah-olah setiap abu yang terbang membawa cerita orang-orang yang pernah hidup di sekitarnya.

Kegetiran puisi CGR bukan hanya dibedah oleh Aba Mardjani (Wartawan dan Sastrawan), Chairil Gibran Ramadhan (Penulis dan Peneliti), Idrus F. Shahab (Mantan wartawan Majalah TEMPO).

Dalam acara tersebut ada juga sambutan dari Diki Lukman Hakim (Kepala Dispusip DKI Jakarta dan PDS HB Jassin), Dr. H. Edi Sukardi (Ketua Pusat Studi Betawi UHAMKA), M. Syakur Usman (Ketua Forum Jurnalis Betawi), dan Sihar Ramses Simatupang (Sastrawan dan Wartawan).

Sementara para pembaca puisi antara lain; Endin Sas (Penyair dan aktor tester), Guntoro Sulung (Sineas dan penyair), Mustafa Ismail (Redaktur Sastra KORAN TEMPO), Putra Gara (Wartawan dan Ketua Dewan Kesenian Kab. Bogor), dab Willy Ana (Penyair).

Acara yang dibawa oleh Giyanto Subagio dari Masyarakat Kesenian Betawi itu berlangsung dari jam 14.00 itu berakhir pada pukul 16.00. Sementara moderator dalam bedah buku dipandu olehM uhammad Sartono dari Ketua Sahabat Budaya Indonesia.*** (PG)

 

Loading

Catatan Redaksi: Apabila ada pihak yang merasa dirugikan atau keberatan dengan penayangan artikel dan/atau berita tersebut di atas, Silakan mengirimkan sanggahan dan/atau koreksi kepada Kami, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers melalui email: pajajaranred@gmail.com Terima kasih.