ACEH ADALAH ACEH
– Putra Gara
Dari hiruk pikuk pilpres di Indonesia, ada endapan magma yang kerap berpedar dalam sanubari para pejuang Aceh, dimana amanah para indatu tetap terawat dan terjaga dalam bingkai istigfar yang tak berkesudahan.
Ini pedih, memang. Tetapi itulah Aceh, seperti puisi dalam renungan. Meletup dalam gua kata, dan ada Allah disetiap perencanaan yang membuat gerak langkah diyakini sebagai ketentuan.
Kita tahu, Sang Pemilik Hidup pernah memberikan sebuah petunjuk yang begitu gamblang; “Takkan berubah suatu kaum, bila kaum itu tak mengubahnya…”
Tak perlu menoleh ke belakang memang, dan kita cukup membuat catatan, kemarin adalah masa lalu yang bisa dijadikan renungan dan pembelajaran.
Dalam sebuah diskusi penuh arti, ada tiga poin bagaimana mengembalikan Marwah Aceh setelah tercerabut pasca perjanjian damai Helsinki 2005 silam yang hingga kini (maaf) tak ada realisasinya.
Pertama; generasi penerus Aceh harus mampu meluruskan sejarah Aceh. Ini sangat penting, bahwa Aceh adalah Aceh. Tak lebih, dan tak ada yang lainnya.
Kedua; harus ada pergerakan nyata dari pemahaman meluruskan sejarah Aceh itu di semua lini. Baik di forum diskusi, maupun di ruang-ruang akademisi. Selain itu, kedai kopi mungkin bisa dijadikan salah satu ajang sosialisasi. Kita memang harus mampu memberikan ruang pemahaman pada generasi melinia dan generasi mendatang tentang kedudukan Aceh sebagaimana mestinya, seperti yang telah diamanahkan oleh para moyang indatu kita; Aceh adalah Aceh.
Ketiga: perkuat basis ekonomi, sebagai bentuk realisasi dari pemahaman untuk mengembalikan Marwah Aceh. Misalnya kita dorong pemimpin Aceh sekarang untuk bisa bergerak kearah kemandirian ekonomi di Aceh, atau ada juga kita bergerak secara mandiri, independen, tanpa bergantung pada kebijakan birokrasi yang ada sekarang.
Ini memang bentuk perjuangan, tetapi harus dimulai. Karena bila kita berusaha, tentu akan ada jalan. Bukankan dalam hidup kita memang diminta untuk ikhtiar?!
Bila tiga elemen ini bisa kita pahami bersama, menempatkan Aceh semestinya, dan mengembalikan Marwah Aceh sebagaimana pesan dan amanah para indatu kita, tentu akan terlihat hasilnya. Karena pesan moyang datu kita; Aceh adalah kekuatan Agama, Aceh adalah sebuah bangsa. ACEH ADALAH ACEH!
Dalam kitab kehidupan, Aceh bagai lembar bab kisah yang tak ingin kita sudahi alurnya. Kitalah, para penerus generasi Aceh masa depan, yang harus menentukan ending kisah Aceh itu sendiri.
Sebagai penutup dari gumaman panjang ini, kami ingin mengutip satu puisi yang ditorehkan oleh Pilo Poly ;
TEUKU MARKAM
di gerbang kesunyian ini, kau
menggali kebahagiaan sampai pada puncak hidupmu,
sedang aku seperti membaca
luka pada tubuhku sendiri,
hampir meledak bagai Jakarta
melukai kita,
setelah begitu mulia kau tambat
tubuhmu dalam kata merdeka
dan pembangunan
hari itu, mendadak siang terik
mengangkut kengerian dan menuangnya
dalam dadamu. kau pun sesak dengan wujud kenangan yang terasa lelah, tua dan sendiri, seperti dirimu,
dibakar panas dengan tangan rezim yang bersimbah darah menusukmu
sebelum ditangkap,
kampung halamanmu nan jauh, melintas. sepi dan dingin. seolah
berubah jadi penjara, tempat kata-kata kebohongan digenapkan.
dalam tubuhmu, sekelebat
kesunyian menyayat punggungmu,
sambil mendengar jerit anak-anak di rumah yang kehilangan masa depan.
o, betapa tinggi derajat Indonesia harum,
ditanganmu, Markam!
namun semua telah dikuras, sambil melemparmu
dalam jeruji!
begitulah Jakarta, Markam.
selalu mempermainkan
kita. juga sunyi tangis
anak-anakmu, yang bertahun-tahun
mencari keadilan atas kepergianmu, diculik pagi penguasa yang kejam.
meski begitu banyak pula luka tubuh kota ini telah kau obati. tetap saja jiwamu kenanga dan nirwana.
sunyi tangis anak-anakmu, Markam saat melewati segala luka di tubuh Monas yang dibangun dengan keringatmu.
Jakarta, 2018.
- *****